Halal bi halal dan sejarahnya
Acara halal bi halal kembali diadakan di pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit dalam rangka menyambut Tahun ajaran baru. Acara halal bi halal tersebut dihadiri oleh seluruh santri, baik putra maupun putri, dan juga segenap ustadz dan ustadzah dalam Lembaga pendidikan Diniyah dan sosial ini. Halal bi halal yang diselenggarakan pada tanggal 07 Juli 2018 M atau bertepatan dengan 23 Syawwal 1439 H ini merupakan kegiatan rutin yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur para santri setelah mereka merayakan Hari Raya Idul Fitri 1439 H, akhirnya mereka dapat menimba ilmu kembali di pondok pesantren dan Madrasah Diniyah Miftahul Ulum. Hal ini karena setelah agenda Imtihan (إِمْتِحَانَ) dalam rangka Haul Masyayikh wa Haflah akhirus sanah Pondok Pesantren Miftahul Ulum, kegiatan pembelajaran di pondok dan Madrasah Diniyah diliburkan untuk para santri putra maupun putri selama kurang lebih 1,5 bulan sebagai penghormatan atas datangnya bulan suci Romadlon dan bulan Syawwal. Selain itu, kegiatan Halal bi halal ini juga diselenggarakan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturrahim antar santri.
Menurut KH Masdar Farid Mas’udi, selaku Rois Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dalam laman NU Online, yang ditulis oleh A. Khoirul pada 17 Juli 2015 silam, menyatakan bahwa istilah Halal bi halal sendiri pertama kali dikemukakan oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1948 M atau 3 (tiga) tahun setelah Indonesia merdeka, tepatnya di pertengahan bulan Romadlon. Istilah Halal bi halal disampaikan oleh Kyai Wahab atas permintaan Ir. Soekarno yang saat itu tengah dilanda kebingungan dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang dinilai tidak sehat. Kyai Wahab Chasbullah yang saat itu dipanggil ke Istana Negara menyarankan kepada Ir. Soekarno untuk mengadakan silaturrohim mengingat sebentar lagi memasuki Hari Raya Idul Fitri, dimana umat islam disunahkan untuk bersilaturrohim. Namun, Ir. Soekarno meminta agar ada istilah lain yang menggantikan kata silaturrahim karena sudah dianggap biasa. Menanggapi hal ini, Kyai Wahab Chasbullah berkata bahwa persaingan politik yang tidak sehat dikarenakan para elit politik sendiri saling menyalahkan, sedangkan saling menyalahkan itu dosa dan dosa itu haram. Oleh sebab itu, harus dihalalkan. Para elit politik harus bertemu dan duduk dalam satu meja agar mereka bisa saling memaafkan dan menghalalkan. Dari sini, Kyai Wahab Chasbullah menyarankan untuk menggunakan istilah 'Halal bi halal'.
Saran Kyai Wahab Chasbullah ini kemudian dijalankan oleh Ir. Soekarno dengan mengundang para tokoh politik ke Istana Negara untuk saling silaturrohim yang diberi judul 'Halal bi halal', sehingga mereka bisa duduk dalam satu meja sebagai babak baru dalam menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu, banyak instansi pemerintah yang menyelenggarakan Halal bi halal yang kemudian diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat islam di tanah Jawa sebagai pengikut Ulama'.
Berdasarkan peran kedua tokoh tersebut, maka tampak bahwa Ir. Soekarno sebagai penggerak tokoh politik di instansi pemerintah, sedangkan Kyai Wahab Chasbullah sebagai penggerak masyarakat dari kalangan bawah. Hingga saat ini, istilah 'Halal bi halal' digunakan sebagai nama kegiatan silaturrohim rutin dan budaya pada saat Hari Raya Idul Fitri di Indonesia.
Akan tetapi istilah 'Halal bi halal' ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama, yaitu طَلَبُ حَلَالٍ بِطَرِيْقٍ حَلَالِ yang memiliki arti mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua, yaitu حَلَالٌ يُجْزَاءُ بِحَلَالِ yang memiliki arti pembebasan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Berdasarkan hal tersebut, sehingga di pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit diadakan Halal bi halal setiap tahunnya untuk mengawali tahun ajaran baru. Selain dengan tujuan yang telah disebutkan di atas, juga untuk kembali memberi arahan dan bimbingan kepada seluruh santri di pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit agar dengan senang hati mau dan mampu melaksanakan seluruh kegiatan dan peraturan yang telah dibuat oleh pimpinan pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit.
Writen by : Moh. Zainal Abidin
Disadur dari : A. Khoirul. 2015. NU Online
Saran Kyai Wahab Chasbullah ini kemudian dijalankan oleh Ir. Soekarno dengan mengundang para tokoh politik ke Istana Negara untuk saling silaturrohim yang diberi judul 'Halal bi halal', sehingga mereka bisa duduk dalam satu meja sebagai babak baru dalam menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itu, banyak instansi pemerintah yang menyelenggarakan Halal bi halal yang kemudian diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat islam di tanah Jawa sebagai pengikut Ulama'.
Berdasarkan peran kedua tokoh tersebut, maka tampak bahwa Ir. Soekarno sebagai penggerak tokoh politik di instansi pemerintah, sedangkan Kyai Wahab Chasbullah sebagai penggerak masyarakat dari kalangan bawah. Hingga saat ini, istilah 'Halal bi halal' digunakan sebagai nama kegiatan silaturrohim rutin dan budaya pada saat Hari Raya Idul Fitri di Indonesia.
Akan tetapi istilah 'Halal bi halal' ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama, yaitu طَلَبُ حَلَالٍ بِطَرِيْقٍ حَلَالِ yang memiliki arti mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua, yaitu حَلَالٌ يُجْزَاءُ بِحَلَالِ yang memiliki arti pembebasan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Berdasarkan hal tersebut, sehingga di pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit diadakan Halal bi halal setiap tahunnya untuk mengawali tahun ajaran baru. Selain dengan tujuan yang telah disebutkan di atas, juga untuk kembali memberi arahan dan bimbingan kepada seluruh santri di pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit agar dengan senang hati mau dan mampu melaksanakan seluruh kegiatan dan peraturan yang telah dibuat oleh pimpinan pondok pesantren Miftahul Ulum Klumpit.
Writen by : Moh. Zainal Abidin
Disadur dari : A. Khoirul. 2015. NU Online
Comments
Post a Comment